Pada posting-an saya kali ini, saya akan mencoba membahas mengenai psikologi dan perkembangan pendidikan. Berikut adalah pembahasannya. Semoga bermanfaat :)


Sebelum memasuki inti pembahasan ada baiknya kita berkenalan lebih dahulu dengan teori-teori perkembangan yang berhubungan dengan materi ini beserta para tokoh yang mencetuskannya. Berikut ini adalah nama tokoh serta teori yang dikemukakannya:
1.    Jean Piaget mengemukakan teori perkembangan kognitif.
2.    Erik Erikson mengemukakan teori perkembangan psikososial.
3.    Lawrence Kohlberg mengemukakan teori perkembangan moral.

Pada pembahasan kali ini saya akan mencoba menjabarkan hubungan antara pendidikan dengan masa perkembangan anak (TK, SD, SMP, dan SMA) yang dibagi menjadi beberapa tahap sebagai berikut:
1.    Masa Kanak-kanak Awal (Prasekolah atau Taman Kanak-kanak)
Tahap perkembangan pada masa TK kurang lebih sesuai dengan masa kanak-kanak awal yang berkisar antara usia 2-6 tahun. Pada fase ini, anak-anak mengalami empat macam masa yaitu, masa negativitis (trotzalter), masa bermain, masa eksplorasi, dan juga masa meniru. Sesuai dengan teori yang dikemukakan oleh Jean Piaget, tahap kognitif pada masa ini berada pada tahap praoprasional di mana bersifat egosentris dan juga ada kemajuan dalam bahasa. Sedangkan pada teori perkembangan moral yang dikemukakan oleh Lawrence Kohlberg, masa ini berada pada tahap prakonvensional yang dibagi menjadi dua tahap: a) tahap 1 (2-4 tahun) orientasi hukuman dan b) tahap 2 (4-6 tahun) orientasi ganjaran. Dengan kata lain, anak-anak yang berada pada tahap 1 dapat diberikan hukuman apabila melakukan kesalahan karena mereka belum dapat membedakan dengan baik antara yang benar dan yang salah, sedangkan anak-anak yang berada pada tahap 2 dapat diberikan ganjaran (pujian) untuk setiap perbuatan baik yang mereka lakukan.
Dalam masa ini, penting sekali untuk melakukan penanaman moral, mengingat salah satu yang terjadi pada masa ini adalah adanya masa meniru. Hal lain yang juga penting adalah bahwa tidak memaksakan anak-anak pada masa ini untuk belajar karena masa ini adalah masanya bermain, tidak ada larangan untuk belajar terlebih jika dilakukan sambil bermain dan juga tidak adanya paksaan terhadap anak. Pada masa ini juga keingintahuan anak-anak meningkat sehingga mereka akan sering bertanya untuk mengetahui lebih banyak hal dan juga untuk memenuhi keingintahuannya. Maka dari itu, metode pendidikan yang tepat pada masa ini adalah belajar sambil bermain untuk mengasah kemampuan softskill-nya serta memberikan penjelasan mengenai keingintahuannya diiringi dengan penanaman moral yang tepat.
2.    Masa Kanak-kanak Akhir (Sekolah Dasar)
Tahap perkembangan pada masa SD kurang lebih sesuai dengan masa kanak-kanak akhir yang berkisar antara usia 6-12 (pra-pubertas) tahun. Sesuai dengan teori yang dikemukakan oleh Jean Piaget, tahap kognitif pada masa ini berada pada tahap konkret oprasional di mana sang anak sudah mulai dapat berpikir logis, menguasai konversi, dan juga dapat mengklarifikasi objek. Menurut Erik Erikson pada teori perkembangan psikososialnya, anak-anak pada masa ini berada pada tahap industry vs inferiority. Sedangkan pada teori perkembangan moral yang dikemukakan oleh Lawrence Kohlberg, masa ini berada pada tahap konvensional yang dibagi menjadi dua tahap: a) tahap 3 orientasi “good boy or good girl” dan b) tahap 4 orientasi otoritas. Dengan kata lain, anak-anak yang berada pada tahap 3 dapat diberikan pujian dengan mengatakan bahwa mereka adalah anak yang baik apabila mereka sudah melakukan hal yang baik dan benar, sedangkan anak-anak yang berada pada tahap 4 perlu mendapatkan perintah yang tegas sehingga mereka dapat melakukan hal yang benar dengan sebaik-baiknya dan juga untuk melatih mereka agar mampu mengatur diri mereka sendiri di masa depan.
3.    Masa Remaja (Sekolah Menengah Pertama dan Sekolah Menengah Akhir)
Tahap perkembangan pada masa SMP sampai dengan SMA kurang lebih sesuai dengan masa remaja (adolescense) yang berkisar antara usia 12-18 tahun (terdapat perbedaan dalam hal usia; tergantung ahli yang mengatakannya). Sesuai dengan teori yang dikemukakan oleh Jean Piaget, tahap kognitif pada masa ini berada pada tahap oprasional di mana sang anak sudah mulai dapat berpikir secara abstrak, visionis, dan juga kembali bersifat egosentris. Menurut Erik Erikson pada teori perkembangan psikososialnya, anak-anak pada masa ini berada pada tahap identity vs role confusion. Sedangkan pada teori perkembangan moral yang dikemukakan oleh Lawrence Kohlberg, masa ini berada pada tahap post-konvensional yang dibagi menjadi dua tahap: a) tahap 5 orientasi kontrak sosial dan b) tahap 6 orientasi asas etis. Perlu digarisbawahi bahwa tidak semua orang dapat menduduki tahap post-konvensional.

Sumber:
Santrock, J. W. 2006. Educational Psychology. 2nd Ed. New York: McGraw-Hill Company.
Pada posting-an saya kali ini, saya akan mencoba menjelaskan tentang belajar. Berikut adalah penjelasnnya. Semoga dapat bermanfaat :)
    Belajar merupakan perubahan perilaku yang relatif permanen yang dibentuk melalui pengalaman. Namun, perubahan perilaku karena obat, kelelahan, maturasi dan luka tidak dikatakan sebagai belajar. Pada pembahasan kali ini, saya akan membahas mengenai dua pendekatan pembelajaran, yaitu sebagai berikut:
1.    Pendekatan Behavioral
a.    Classical Conditioning
Teori ini pertama kali dikemukakan oleh Ivan Pavlov, seorang psikolog yang berasal dari Rusia, pada awal 1900-an. Dalam prosesnya mendapatkan teori ini, ia menggunakan anjing sebagai partisipannya. Ia akan meletakkan semangkuk makanan dihadapan anjing tersebut secara rutin dan sesuai yang sudah kita ketahui, anjing tersebut akan mengeluarkan air liurnya secara alami. Kemudian yang dilakukan olehnya selanjutnya adalah memasangkan makanan dengan bel. Sehingga bel tersebut menjadi tanda bahwa makanannya akan segera datang. Hal ini pun dilakukan secara rutin dalam waktu tertentu. Pada akhirnya, anjing tersebut akan segera mengeluarkan air liur secara alami waluapun tanpa ada kehadiran makanannya.
Dari eksperimen di atas dapat kita tarik kesimpulan bahwa belajar menurut teori classical conditioning adalah suatu bentuk di mana stimulus netral yang berupa conditioned stimulus (CS) dipasangkan dengan unconditioned stimulus (UCS) untuk dapat mengubah unconditioned response (UCR) menjadi conditioned response (CR) hanya karena adanya CS. Di mana—dalam eksperimen yang dilakukan oleh Ivan Pavlov tersebut—UCS-nya adalah makanan, UCR-nya adalah mengeluarkan air liur ketika melihat makanan, CS-nya adalah suara bel, sedangkan UCS-nya adalah mengeluarkan air liur karena mendengar suara bel.
Hal penting lainnya yang perlu diperhatikan adalah elemen kunci dari classical conditioning itu sendiri, yaitu asosiasi dari dua stimulus. Dan ya, dua hal penting yang berkaitan dengan pembentukan asosiasi adalah frekuensi dan timing.
Salah satu peran dari classical conditioning adalah delam memahami kasus phobia dan juga rasa takut. Classical conditioning ini dapat dihilangkan dengan counter conditioning.

b.    Operant Conditioning
Operant Conditioning dikenal juga sebagai belajar konsekuensi. Hal tersebut sesuai dengan apa yang terdapat pada teori tersebut. Ada dua tokoh terkenal yang melakukan eksperimen untuk membuktikan kebenaran teori ini, yaitu B. F. Skinner sebagai yang merancang teori ini dan juga E. L. Thorndike sebagai tokoh yang mendasari pemikiran di dalam memahami teori ini.
Eksperimen yang dilakukan E. L. Thorndike dikenal dengan “Hukum Efek Thorndike” terlebih dahulu. Pada eksperimen yang dilakukannya ini, ia menggunakan kucing sebagai partisipannya. Yang ingin dilihatnya dari eksperimen ini adalah bagaimana cara kucing menyadari kondisi di sekitarnya untuk dapat mengambil ikan di luar kandangnya. Kandang tersebut memiliki sebuah tombol khusus yang apabila ditekan akan membuka pintu kandang tersebut sehingga kucing dapat keluar dan mengambil ikan yang diinginkannya. Pada awalnya, kucing tersebut mencoba segala cara untuk dapat membuka pintu kandang, misalnya dengan mencakar dan mengigit besi kandang tersebut. Sampai pada akhirnya, ia secara tidak sengaja menekan tombol tersebut dan dengan segera keluar dari kandang serta mengambil ikannya. Pada percobaan kedua, kucing tersebut masih melakukan hal yang sama, ia melakukan gerakan-gerakan acak dan pada akhirnya menekan tombol tersebut. Begitu seterusnya sampai ia dapat langsung menekan tombol tersebut untuk membuka pintu. Dengan kata lain, hukum efek Thorndike menyatakan bahwa perilaku yang diikuti dengan hasil yang positif akan diperkuat dan perilaku yang diikuti dengan hasil yang negatif akan diperlemah.
Dari eksperimen di atas dapat kita tarik kesimpulan bahwa belajar menurut teori operant conditioning adalah di mana konsekuensi dari perilaku mengarahkan kita pada perubahan probabilitas terjadinya perilaku. Di dalam teori operant conditioning terdapat tiga macam bentuk konsekuensi yang mempengaruhi perilaku, yaitu
a.    Penguatan positif, yaitu penguatan berdasarkan prinsip bahwa frekuensi respons meningkat karena diikuti dengan stimulus yang mendukung (rewarding).
b.    Penguatan negatif, yaitu penguatan berdasarkan prinsip bahwa frekuensi respons meningkat karena diikuti dengan penghilangan stimulus yang merugikan atau tidak menyenangkan.
c.    Hukuman, yaitu konsekuensi yang menurunkan probabilitas terjadinya suatu perilaku.

2.    Pendekatan Kognitif Sosial
Salah satu perncang teori kognitif sosial adalah Albert Bandura. Pengertian belajar menurut teori kognitif sosial adalah suatu proses internal atau mental aktif untuk memperoleh, mengingat, dan menggunakan suatu pengetahuan. Outcome dari proses belajar itu sendiri adalah pengetahuan sebagai elemen yang paling dasar dan mengetahui.
Teori yang dikemukakan oleh Albert Bandura dalam pendekatan kognitif sosial adalah pembelajaran observasional yang juga dinamakan imitasi atau modeling yaitu, pembelajaran yang dilakukan ketika seseorang mengamati dan meniru perilaku orang lain. Model pembelajaran observasional kontemporer Bandura ini memfokuskan pada proses spesifik yang terlibat di dalamnya, yaitu atensi (perhatian), retensi (mengodekan informasi dan menyimpannya dalam memori), produksi, dan motivasi.


Sumber:
Santrock, J. W. 2006. Educational Psychology. 2nd Ed. New York: McGraw-Hill Company.

Pada posting-an saya kali ini, saya akan mencoba me-review mengenai psikologi pendidikan dan ruang lingkupnya. Semoga dapat bermanfaat :)
    Bidang psikologi pendidikan pertama kali dikenal sebelum abad ke-20, ada empat perintis yang mendirikannya, yaitu sebagai berikut:
1.    William James
Rekomendasinya dalam bidang psikologi pendidikan adalah mengajar pada titik sedikit lebih tinggi di atas tingkat pengetahuan dan pemahaman anak.
2.    John Dewey
Ada tiga pandangan penting di dalam psikologi pendidikan, yaitu: a) anak sebagai pembelajar aktif, b) pendidikan berfokus pada anak secara keseluruhan dan memperkuat kemampuan adaptasi anak dengan lingkungan, serta c) semua anak berhak mendapatkan pendidikan selayaknya.
3.    Edward Lee Thorndike
Gagasannya dalam bidang ini, yaitu bahwa bidang psikologi pendidikan harus mempunyai basis ilmiah dan fokus pada pengukuran.
4.    Burrhus Frederic Skinner
Di dalam bidang psikologi pendidikan, ia mencetuskan suatu pendekatan behavioral, yaitu operant conditioning. Operant conditioning menyatakan bahwa konsekuensi perilaku akan menyebabkan perubahan dalam probabilitas perilaku itu akan terjadi, di mana konsekuensi (reinforcement-punishment) bersifat sementara pada perilaku organisme.

Di dalam psikologi pendidikan, terdapat pembahasan mengenai cara mengajar yang efektif. Cara mengajar yang efektif tidaklah bersifat tunggal (dapat digunakan untuk semua hal) karena mengajar itu sendiri adalah suatu hal yang kompleks dan juga karena para peserta didik yang bervariasi. Berikut adalah dua hal utama yang dibutuhkan untuk dapat mengajar dengan cara yang efektif: a) pengetahuan dan keahlian profesional (yang meliputi penguasaan materi pelajaran, strategi pengajaran, penetapan tujuan dan keahlian perencanaan instruksional, keahlian manajemen kelas, keahlian motivasional, keahlian komunikasi, bekerja secara efektif dengan murid dari latar belakang kultural yang berlainan, serta keahlian teknologi), dan b) komitmen dan motivasi.
Di dalam psikologi pendidikan itu sendiri terdapat riset. Nah, pertanyaannya sekarang adalah “apakah riset itu penting?”. Untuk menjawab hal tersebut, terlebih dahulu kita harus mengetahui tujuan dari riset, yaitu untuk memahami strategi mengajar dari informasi yang di dapat. Dengan informasi yang valid dari riset ini kita dapat menjadi seorang pengajar yang lebih baik lagi ke depannya. Mungkin kebanyakan dari kita ada yang mengatakan bahwa tanpa riset pun kita dapat mengetahui bagaimana cara mengajar yang tepat yaitu dengan melakukan pengamatan dari pengalaman pribadi kita. Namun, kita sendiri pun tidak bisa menyangkal bahwa kita sendiri bahkan tidak mengetahui seberapa validkah hasil pengamatan kita karena kita tahu bahwa persepsi dari masing-masing individu dapat mempengaruhi hasil pengamatan tersebut. Berbeda individu, berbeda persepsi, berbeda pula kesimpulan akhir yang didapat. Bahkan seorang ahli atau pakar sekalipun dapat mengemukakan pemahan yang berbeda. Maka dari itu, para ahli akan mengadakan riset ilmiah yang pastinya menggunakan pendekatan ilmiah yang dimaksudkan—dalam hal ini di bidang psikologi pendidikan—untuk memilah antara fakta dan khayalan dengan menggunakan cara tertentu untuk mendapatkan informasi (Best & Kahn, 2003; Johnson & Christensen, 2009). Sedangkan, riset ilmiah adalah riset yang objektif, sistematis, dan dapat diuji. Riset ilmiah itu sendiri dilandaskan pada metode ilmiah yaitu, sebuah pendekatan yang dapat dipakai untuk menemukan informasi yang akurat dan terdiri dari beberapa langkah: a) merumuskan masalah, b) mengumpulkan data, c) menarik kesimpulan, dan d) merevisi kesimpulan dan terori riset.
Di dalam psikologi pendidikan terdapat tiga metode dasar yang dipakai untuk mengumpulkan informasi, yaitu:
1.  Riset deskriptif, yaitu bertujuan untuk mengamati dan mencatat perilaku yang dapat mengungkapkan informasi pentig tentang perilaku dan sikap seseorang. Riset deskriptif ini dibagi-bagi lagi menjadi beberapa metode, diantaranya adalah observasi, wawancara dan kuesioner, tes standar, studi kasus, serta studi etnografik.
2.  Riset korelasional, yaitu bertujuan untuk mendeskripksikan kekuatan hubungan antara dua atau lebih kejadian atau karakteristik.
3. Riset eksperimental, yaitu bertujuan untuk menentukan sebab-sebab perilaku dengan melakukan eksperimen.

Sumber:
Santrock, J. W. 2006. Educational Psychology. 2nd Ed. New York: McGraw-Hill Company.
Ya, kembali lagi bersama saya dan teman-teman saya yang tergabung di dalam kelompok 10. Pada post kali ini, kami akan mencoba untuk membahas salah satu topik Psikologi Pendidikan dengan judul "Implikasi Pendidikan terhadap Perkembangan". Berikut adalah nama-nama dari anggota kelompok 10:

Fikri Dien (161301016)

Izdihar Afra (161301022)

Yuliasti (161301027)


Yusnita Tarigan (161301038)




Tahap perkembangan TK (Taman Kanak-Kanak)
Tahap perkembangan pada masa TK kurang lebih sesuai dengan masa kanak-kanak awal yang berkisar antara usia 2-6 tahun. Pada fase ini, anak-anak mengalami empat macam masa yaitu, masa negativitis (trotzalter), masa bermain, masa eksplorasi, dan juga masa meniru. Sesuai dengan teori yang dikemukakan oleh Jean Piaget, tahap kognitif pada masa ini berada pada tahap praoprasional di mana bersifat egosentris dan juga ada kemajuan dalam bahasa. Sedangkan pada teori perkembangan moral yang dikemukakan oleh Lawrence Kohlberg, masa ini berada pada tahap prakonvensional yang dibagi menjadi dua tahap: a) tahap 1 (2-4 tahun) orientasi hukuman dan b) tahap 2 (4-6 tahun) orientasi ganjaran. Dengan kata lain, anak-anak yang berada pada tahap 1 dapat diberikan hukuman apabila melakukan kesalahan karena mereka belum dapat membedakan dengan baik antara yang benar dan yang salah, sedangkan anak-anak yang berada pada tahap 2 dapat diberikan ganjaran (pujian) untuk setiap perbuatan baik yang mereka lakukan.
Dalam masa ini, penting sekali untuk melakukan penanaman moral, mengingat salah satu yang terjadi pada masa ini adalah adanya masa meniru. Hal lain yang juga penting adalah bahwa tidak memaksakan anak-anak pada masa ini untuk belajar karena masa ini adalah masanya bermain, tidak ada larangan untuk belajar terlebih jika dilakukan sambil bermain dan juga tidak adanya paksaan terhadap anak. Pada masa ini juga keingintahuan anak-anak meningkat sehingga mereka akan sering bertanya untuk mengetahui lebih banyak hal dan juga untuk memenuhi keingintahuannya. Maka dari itu, metode pendidikan yang tepat pada masa ini adalah belajar sambil bermain untuk mengasah kemampuan softskill-nya serta memberikan penjelasan mengenai keingintahuannya diiringi dengan penanaman moral yang tepat.
Contoh:
a. Beberapa taman kanak-kanak yang berbasis “sekolah alam dan sains” mengajak para peserta didiknya untuk mengekplorasi alam dan juga meningkatkan keberanian serta kekompakan mereka dengan adanya kegiatan outbound yang menjadi salah satu kegiatan wajib di sekolah mereka tersebut.
b. Sebuah taman kanak-kanak mengajarkan pada muridnya berhitung dengan cara bernyanyi sambil bermain dengan harapan anak tersebut bisa meningkatkan kemampuan berhitung dengan baik dan lebih cepat.

Tahap perkembangan SD (Sekolah Dasar)     
Siswa SD adalah mereka yang usianya masih sekitar 6-11 tahunan, usia yang senang-senangnya bermain. Jelas ini membuat para guru SD harus kerja lebih keras dalam menerapkan berbagai strategi belajar.
Dalam belajar siswa SD terkadang mengalami kesulitan dalam mengingat sesuatu. Ditambah lagi jika materinya banyak, pasti lebih sulit lagi. Nah disinilah guru harus memberikan sebuah langkah jitu untuk mengatasi itu semua. Salah satu cara yang bisa digunakan adalah dengan metode "Chunking". Metode chunking adalah metode yang memudahkan siswa dalam mengingat sesuatu.
Contoh dari penggunaan metode ini, misalkan siswa di suruh mengingat sederet kata: Sapi, Rumput, Lapangan, Tennis, Air, Anjing, Danau. Dalam hal ini siswa bisa mempergunakan metode chungking untuk mengingat kata tersebut, menjadi : "SAPI terlihat makan RUMPUT disamping LAPANGAN TENNIS. Setelah itu ia meminum AIR yang tidak jauh dari ANJING yang sedang memandang DANAU di sebrang."
Salah satu cara belajar yang juga bisa digunakan untuk siswa SD adalah dengan metode mengembangkan brainstorming. Brainstorming adalah teknik di mana orang-orang dalam sebuah kelompok didorong untuk menghasilkan ide kreatif, saling bertukar gagasan, dan mengatakan apa saja yang ada di pikiran mereka yang tampaknya relevan dengan isu tertentu. Cara ini dapat dilakukan oleh sang guru dengan melontarkan sebuah pertanyaan atau suatu isu sehingga membiarkan siswa SD mengeluarkan pendapatnya semaksimal mungkin, walaupun pendapat yang dilontarkan bisa menjadi hal yang tidak masuk akal. Hal ini dilakukan agar siswa SD berani dalam mengeluarkan apa yang dipikirkannya.

Tahap perkembangan SMP (Sekolah Menengah Pertama)
Pada tahap perkembangan SMP (Sekolah Menengah Pertama) merupakan masa remaja (Adolescence) yang dimulai dari usia 11/12 tahun – 18/24 tahun. Pada tahap ini perkembangan emosional yang tidak stabil, berubah-ubah, dan cenderung meledak-ledak serta perkembangan kognitif yaitu pada tahap operasional formal di mana masih memiliki pola berpikir cenderung egosentris yaitu berpikir mengenai suatu hal menurut pandangannya sendiri. Pada tahap ini cara belajar yang tepat diberikan pada anak SMP ialah belajar sambil berdiskusi dalam kelompok. Dengan berdiskusi berarti ia harus mendengarkan dan menerima pendapat serta saran dari orang lain sehingga melatih diri untuk menahan emosional yang tidak stabil tersebut serta mendengarkan pandangan atau pendapat dari orang lain mengenai suatu hal. Maka, belajar sambil berdiskusi dalam kelompok ialah cara belajar yang tepat pada tahap perkembangan SMP (Sekolah Menengah Pertama).
Anak usia smp merupakan anak-anak pada usia peralihan kanak-kanak dan dewasa. Disebut masa remaja.  Pada masa ini anak akan mengalami masa pertumbuhan dan perkembangan fisiknya dan psikisnya, sehingga proses belajar yang tepat digunakan iyalah  menumbuhkan sikap disiplin anak,  misalnya dengan memberikan hukuman pada anak yang tidak mengerjakan tugas,  hal tersebut akan membuat anak malu, mengingat masa ini adalah masa perkembangannya maka sang anak akan mulai merasa tertarik kepada lawan jenisnya, hal tersebut dapat menjadi motivasi pada anak untuk selalu tampil lebig baik. Proses belajar lainnya juga dapat di padukan dengan lingkungan. Mereka akan lebih memahami pelajaran bila pelajaran terjebut dipadukan dengan hal-hal yang menyanangkan. Misalnya belajar sambil mengeksplorasi lingkungannya, membawanya ketempat-tempat yg nyaman atau sesuai dengan pembelajaran.

Tahap perkembangan SMA (Sekolah Menengah Atas)
Pada masa SMA antara usia 15-18 tahun yaitu masa remaja, mereka mulai mencari identitas mereka. Pada masa ini, remaja mampu memahami dan mengkaji konsep-konsep abstrak dalam batas-batas tertentu. Kecenderungan-kecenderungan remaja untuk melibatkan diri dalam hal-hal yang tidak tergali, guru dapat membantu mereka dengan menggunakan pendekatan keterampilan proses dengan memberi penekanan pada penguasaan konsep-konsep abstrak. Karena siswa pada usia remaja ini masih dalam proses penyempurnaan penalaran, guru hendaknya tidak menganggap bahwa mereka berpikir dengan cara yang sama dengan guru. Cara yang baik dalam mengatasi bentuk-bentuk pemikiran yang belum matang ialah membantuk siswa menyadari bahwa mereka telah melupakan pertimbangan-pertimbangan tertentu. Namun,bila permasalahan tersebut merupakan masalah kompleks dengan bobot emosi yang cukup dalam, hal itu bukan tugas yang mudah.
Kelompok belajar terdiri dari siswa-siswa yang memiliki variasi bahasa yang berbeda-beda baik kemampuan maupun polanya. Sehubungan dengan itu, dalam mengembangkan strategi belajar mengajar di bidang bahasa, guru perlu memfokuskan pada kemampuan dan keragaman bahasa anak. Anak diminta untuk melakukan pengulangan pelajaran yang telah diberikan dengan kata-kata yang disusun sendiri. Dengan cara ini, guru dapat melakukan identifikasi tentang pola dan tingkat kemampuan bahasa mereka. Kalimat atau cerita anak tentang isi pelajaran perlu diperkaya dan diperluas oleh guru agar mereka mampu menyusun cerita yang lebih komprehensif tentang isi bacaan yang telah dipelajari dengan menggunakan pola bahasa mereka sendiri.